Limbah ternak terutama limbah sapi menjadi masalah bagi peternak karena setiap hari sapi menghasilkan cukup banyak limbah berupa feses dan urine. Kebanyakan dari mereka membuang limbah sapi di sembarang tempat, seperti di lahan kosong, selokan bahkan di aliran sungai. Apabila hal ini terus menerus dilakukan maka akan berakibat pada pencemaran tanah, udara, dan air yang sangat merugikan bagi masyarakat sekitar. Padahal jika mereka mau untuk memanfaatkan limbah sapi menjadi produk seperti pupuk kompos, pupuk cair organik, biogas yang bernilai ekonomis.
Biogas adalah gas yang dihasilkan dalam proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri anaerob (bakteri yang hidup dalam kondisi kedap udara) yang bisa dijadikan pengganti bahan bakar minyak atau gas alam dalam proses pembakaran dan penerangan. Pada umumnya semua jenis bahan organik bisa diproses untuk menghasilkan biogas, namun hanya bahan organik (padat, cair) homogen seperti kotoran dan urine ternak yang cocok untuk sistem biogas. Bahan baku atau limbah untuk produksi biogas sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas biogas.

Kotoran sapi merupakan salah satu bahan baku pembuatan biogas. Hal itu didukung dengan kandungan gas metana yang besar yaitu 65,7% (Wulandari dan Labiba, 2017). Metana adalah gas tanpa bau, tanpa warna, bersifat mudah terbakar, dan mempunyai nilai kalor yang tinggi. Nilai kalor gas metana sangat tinggi yaitu 4800 kkal/m3 hingga 6700 kkal/m3, sedangkan gas metana murni memiliki energi 8900 kkal/m3 sehingga gas metana yang terkandung dalam kotoran sapi dapat digunakan untuk penerangan, memasak, menggerakkan mesin. Kesetaraan antara biogas dan sumber energi lainnya yaitu, untuk setiap 1 m3 biogas setara dengan 0,46 kg liquefied petroleum gas (LPG), 0,62 liter diesel, 0,52 liter bensin, 0,80 liter minyak tanah, 3,5 kg kayu bakar (Irawan & Ridhuan, 2017).
Prinsip pembuatan biogas yaitu adanya dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme secara anaerob (kedap udara) di dalam digester untuk menghasilkan suatu gas yang sebagian besar berupa metana dan karbon dioksida. Mikroorganisme secara alami terdapat pada limbah yang mengandung bahan organik seperti kotoran ternak, kotoran manusia, dan sampah organik (Haryati, 2006). Adapun mikroorganisme pembentuk gas metana antara lain Methanobacterium, Methanobacillus, Methanococcus, dan Methanosacaria (Sofian, 2008). Suhu yang baik untuk proses fermentasi adalah 30-55 oC. Pada suhu tersebut mikroorganisme dapat bekerja secara optimal merombak bahan-bahan organik (Ginting, 2007). Biogas terbentuk pada hari ke 4-5 sesudah digester terisi penuh dan mencapai puncak pada hari ke 20-25. Biogas yang dihasilkan sebagian besar terdiri dari 50-70% metana (CH4), 30-40% karbon dioksida (CO2) dan gas lainnya dalam jumlah kecil.

Proses Instalasi Biogas
1. Mencampurkan kotoran sapi dengan air hingga terbentuk lumpur dengan perbandingan 1:1 di bak penampung sementara. Bentuk lumpur ini akan mempermudah ketika dimasukkan ke dalam digester.
2. Masukkan lumpur ke dalam digester melalui lubang masuk. Pada pengisian pertama, kran gas yang ada di atas digester dibuka supaya proses masuknya lebih mudah dan udara yang ada di dalam digester keluar. Pengisian lumpur pertama ini membutuhkan kotoran sapi dalam jumlah banyak supaya digester penuh.
3. Tambahkan starter (bakteri) sebanyak 1 liter dan isi rumen segar dari rumah potong hewan sebanyak 5 karung untuk kapasitas digester 3,5-5,0 m2. Setelah digester penuh, kran gas ditutup supaya terjadi proses fermentasi.
4. Membuang gas yang pertama kali dihasilkan (termasuk gas CO2) pada hari ke-1 sampai ke-8, sedangkan hari ke-10 sampai ke-14 baru terbentuk gas metana (CH4) dan karbon dioksida (CO2) mulai menurun. Pada komposisi metana 54% dan karbon dioksida 27%, biogas akan menyala.
5. Pada hari ke-14 sudah bisa menghasilkan energi biogas yang selalu terbarukan dan untuk menyalakan api pada kompor gas atau kebutuhan lainnya. Berikutnya biogas dapat diisi lumpur kotoran sapi secara berkelanjutan untuk menghasilkan biogas yang optimal.
Endapan biogas dalam digester disebut sludge baik cair maupun padat dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Sludge padat sangat baik untuk pupuk karena melewati pemrosesan pupuk lebih sempurna dari pada pupuk kandang yang ditumpuk di tempat terbuka. Pupuk yang dihasilkan dari digester ini juga dapat berfungsi memperbaiki struktur tanah sehingga menjadi gembur dan mempunyai daya ikat air yang tinggi. Pupuk tersebut terbentuk dari proses fermentasi di dalam digester yang memang harus dikeluarkan secara berkala agar tidak terjadi tumpukan endapan yang dapat mengganggu proses pembentukan biogas. Dengan menggunakan biogas kita tidak khawatir dengan gas alam yang jumlahnya terus berkurang seiring berjalannya waktu dan bisa menjadi sumber alternatif energi terbarukan.
Sumber :
Ginting. 2007. Tekhnologi pengolahan limbah peternakan. Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara.
Haryati, T. 2006. Biogas: Limbah Peternakan yang Menjadi Sumber Energi Alternatif. Jurnal Wartazoa . 16 : 160-169.
Irawan, D., & Ridhuan, K. (2017). Pengaruh Temperatur Mesofilik Terhadap Laju Aliran Biogas Dan Uji Nyala Api Menggunakan Bahan Baku Limbah Kolam Ikan Gurame. Turbo : Jurnal Program Studi Teknik Mesin, 5(2), 76–81. https://doi.org/10.24127/trb.v5i2.238
Sofian, Amat, 2008, Peningkatan Kualitas Biogas Sebagai Bahan Bakar Mtotor Bakar Dengan Cara Pengurangan Kadar CO2 Dalam Biogas Dengan Menggunakan Sulurry Ca(OH)2. Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Muhamaddiah Surakarta.
Wulandari, C., & Labiba, Q. (2017). Pembuatan Biogas dari Campuran Kulit Pisang dan Kotoran Sapi Menggunakan Bioreaktor Anaerobik. http://repository.its.ac.id/46279/
https://kuduskab.go.id/p/79/biogas
https://paktanidigital.com/artikel/mengolah-kotoran-ternak-biogas/